Tue. Oct 15th, 2024

TEMPO.CO, Jakarta – Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ditutup menguat pada Kamis 11 Agustus 2022. Pada saat yang sama, mata uang lain di kawasan Asia ditutup bervariasi. 

Berdasarkan data Bloomberg, mata uang Garuda ditutup menguat 0,71 persen atau 105 poin sehingga berada di posisi Rp14.765 per dolar AS. Sementara itu, indeks dolar AS, yang mengukur greenback terhadap enam mata uang utama, pada pukul 15.10 WIB terpantau melemah 0,21 persen atau 0,022 poin ke level 104,97.

Sejumlah mata uang lain di kawasan Asia terpantau turut menguat yakni peso Filipina turun 0,65 persen, won Korea Selatan 0,56 persen, dan yen Jepang melemah 0,26 persen.

Sementara itu, yuan Cina terpantau melemah 0,25 persen, dan dolar Singapura melemah tipis 0,03 persen.

Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi dalam riset hariannya pada Rabu kemarin, menyebutkan rupiah menguat lantaran harga konsumen Amerika Serikat (AS) tidak berubah pada Juli dibanding Juni ketika harga naik 1,3 persen. Harga Juli lebih rendah dari ekspektasi karena penurunan tajam dalam biaya bensin sehingga menimbulkan pasar memposisikan ulang selagi berharap inflasi memuncak.

Ibrahim menyebut para investor berharap Federal Reserve tidak perlu mempertahankan kenaikan suku bunga yang curam jika kenaikan harga mencapai puncak. Hal ini karena suku bunga telah mendukung dolar.

Kabar tersebut membuat saham AS dan obligasi jangka pendek menguat. Hal ini juga mendorong Nasdaq lebih dari 20 persen di atas level terendah pada Juni. Imbal hasil treasury dua tahun juga menurun menjadi 3,21 persen atau tujuh poin lebih rendah dari penutupan sebelumnya.

“Pasar saat ini memperkirakan peluang 57,5 persen dari kenaikan suku bunga 50 basis poin pada pertemuan Fed berikutnya, menurut alat Fedwatch CME, meskipun kenaikan 75 basis poin lainnya tetap mungkin,” ujar Ibrahim dalam riset hariannya.

Pada Juli inflasi AS turun menjadi 8,5 persen, tetapi angka tersebut masih mendekati level tertinggi selama beberapa dekade. Turunnya kenaikan harga di AS pada Juli juga disebabkan menurunnya harga gas.

Tingkat inflasi tahunan lantas turun menjadi 8,5 persen mendekati level tertinggi multidekade. Namun, angka tersebut tetap lebih rendah dari puncak empat dekade sebesar 9,1 persen pada Juni lalu.

Turunnya inflasi di AS juga berdampak pada harga minyak mentah dunia karena ketika ekonomi AS meningkat permintaan energi akan naik.

“Jadi wajar saja harga minyak ikut terungkit dan ini merupakan sinyal negatif terutama bagi Indonesia, karena harga bahan bakar minyak (BBM) akan ikut melonjak,” ujar Ibrahim.

Lebih lanjut, Ibrahim menyebut inflasi AS yang melandai merupakan sinyal bagi AS untuk mulai melangkah melewati masa sulit. Hal ini kekhawatiran akan terjadinya reses mulai menurun sehingga permintaan energi meningkat seiringan dengan perbaikan kondisi.

Melambatnya laju inflasi juga membuat pasar semakin yakin bahwa The Fed akan mengerem laju pengetatan moneter, Hal ini lantaran kenaikan suku bunga acuan yang agresif selama ini dilakukan dengan jargon perang melawan inflasi.

Seiring dengan inflasi AS yang rendah, The Fed dinilai dapat mengerem laju pengetatan moneter. Hal ini kian memperkuat sinyal Bank Indonesia (BI) tetap akan menahan suku bunga acuan karena inflasi juga masih terjaga.

“Membuat daya beli masyarakat tetap stabil dan ekonomi nasional bisa to the moon. Ini bukti fundamental ekonomi stabil dan berimbas terhadap menguatnya mata uang rupiah,” ujar Ibrahim.

Adapun untuk perdagangan besok, Jumat, Ibrahim memperkirakan rupiah  akan dibuka fluktuatif, tetapi ditutup menguat di rentang Rp14.740-Rp14.790 per dolar AS. 

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *