Sat. Dec 7th, 2024
Suara Parpol yang tak usung tokoh sentral di Pilpres bisa turun.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Lembaga Survei Jakarta (LSJ) merilis hasil survei terbaru tentang dinamika elektabilitas partai politik dan calon presiden (capres) menjelang Pemilu 2024. Hasil survei LSJ menyebutkan bahwa perolehan suara partai-partai besar akan terjun bebas jika pemimpinnya tidak ikut nyapres.

“Partai Golkar dan Partai Demokrat akan terjun bebas jika Airlangga Hartarto dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tidak ikut nyapres. Hal yang sama bisa terjadi juga pada PDI Perjuangan,” kata Peneliti Senior LSJ, Fetra Ardianto dalam siaran daring pada Selasa (27/9).

Menurut Fetra, berdasarkan hasil survei yang dilakukan LSJ dapat disimpulkan bahwa para calon pemilih atau konstituen partai-partai besar mengharapkan ketua umum atau tokoh sentral partainya ikut nyapres dalam pemilihan umum (Pemilu) 2024. Misalnya saja survei yang dilakukan pada koresponden partai Golkar, hasil survei menyebutkan bahwa lebih dari 68 persen calon pemilih Partai Golkar mengharapkan Airlangga Hartarto ikut nyapres. 

“Bagian terbesar dari mereka meyakini suara Partai Golkar akan semakin anjlok jika Airlangga tak ikut nyapres atau memberikan tiket capres Partai Golkar kepada tokoh di luar partainya,” ujar Fetra.

Ketika LSJ menanyakan kepada responden yang mengaku akan memilih keempat partai besar tersebut apa alasannya, bagian terbesar dari mereka atau 42,5 persen responden mengkhawatirkan jika ketua umum atau tokoh sentral partainya tidak ikut nyapres perolehan suara partai mereka pada Pemilu 2024 nanti bakal anjlok.  

Berangkat dari pengalaman perolehan suara Partai Golkar yang terus merosot ketika mereka tidak memajukan tokoh sentralnya sebagai capres pada Pilpres 2004 lalu. Partai berlogo pohon beringin itu memilih mengusung pemenang Konvensi Capres Golkar Wiranto.

Meskipun akhirnya Wiranto kalah namun pencapresan Wiranto telah memberi “efek ekor jas” bagi kemenangan Partai Golkar pada Pemilu 2004 dengan 21,57 persen.

Pada Pilpres 2009 Partai Golkar kembali mengusung tokoh sentralnya Jusuf Kalla sebagai capres. Mereka kembali dikalahkan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), namun Partai Golkar masih mampu bertahan di posisi dua besar dengan suara 14,45 persen. 

Pada Pilpres 2014 Partai Golkar kembali mengusung JK sebagai cawapres sehingga di pemilu legislatif (Pileg) masih sanggup bertahan di posisi dua besar. Namun pada Pemilu 2019 untuk pertama kalinya Partai Golkar terperosok di posisi ketiga (12,57 persen) karena tidak ada tokoh sentralnya yang ikut berkontestasi di Pilpres.

Contoh lain adalah Partai Demokrat yang absen dalam kontestasi Pilpres 2014 dan 2019. Pada Pemilu 2014 suara partai berlogo tiga berlian itu terjun bebas menjadi 10,90 persen, padahal pada Pemilu 2009 menjadi pemenang dan meraih 20,85 persen suara. 

Pada Pemilu 2019 perolehan suara Partai Demokrat semakin terpuruk menjadi 7,77 persen saja karena tak ada tokoh sentral partai tersebut yang maju dalam kontestasi Pilpres 2019.

Sementara itu Partai Gerindra yang sejak Pemilu 2009 hingga 2019 selalu memajukan tokoh sentralnya Prabowo Subianto, terus mengalami kenaikan suara yang cukup signifikan. Pada Pemilu 2009 ketika Prabowo menjadi cawapres, Partai Gerindra baru memperoleh 4,46 persen.

Lantas pada Pemilu 2014 saat Prabowo maju sebagai capres, suara Partai Gerindra melejit menjadi 11,81 persen. Begitu pula ketika pada Pemilu 2019 Prabowo maju lagi sebagai capres, suara Partai Gerindra naik lagi menjadi 12,57 persen dan menjadi runner up mengalahkan Partai Golkar dan Partai Demokrat yang tidak ikut nyapres.

“Efek ekor jas (coat-tail effect) dari pencapresan Prabowo terbukti telah mengungkit perolehan suara Partai Gerindra dari pemilu ke pemilu,” kata Fetra.

Para calon pemilih atau konstituen partai besar lain khususnya Partai Golkar dan Partai Demokrat rupanya belajar dari kisah sukses Partai Gerindra tersebut sehingga kini mereka tak rela tiket capres partainya dimanfaatkan oleh tokoh di luar partai. Bahkan ambisi PDI Perjuangan untuk membuat hattrick kemenangan di Pemilu 2024 bisa kandas jika tokoh sentral partai mereka tidak ikut maju dalam kontestasi Pilpres.

Survei LSJ ini dilakukan pada 10 hingga 20 September 2022 di 34 provinsi yang tersebar di seluruh Indonesia. Populasi survei ini adalah seluruh penduduk Indonesia yang berusia 17 tahun ke atas atau belum 17 tahun tapi sudah menikah. 

Total sampel sebesar 1220 responden diperoleh melalui teknik pengambilan sampel secara acak bertahap (multi-state random sampling). Batas kesalahan (margin of error)+/- 2,81 persen dan pada tingkat kepercayaan (level of confidence) sebesar 95 persen.

 

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *