JURNAL PERGURUAN TINGGI — Kehadiran Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (PDP) seharusnya dibarengi peningkatan literasi digital masyarakat agar mereka dapat menjaga data pribadi masing-masing. Saat ini tingkat literasi digital masyarakat masih sangat rendah.
Peneliti Center for Digital Society (CfDS ) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM), Faiz Rahman SH, LLM mengemukakan hal tersebut pada Diskusi bertajuk ‘Sahnya UU PDP: Era Baru Perlindungan Data Pribadi di Indonesia’ di kampus UGM Yogyakarta, Selasa (27/9/2022).
BACA JUGA : Pakar Digital Forensik UII Ingatkan Pengelola Data Lebih Hati-hati
Scroll untuk membaca
Scroll untuk membaca
“Perlu sosialisasi dari pemerintah untuk menghimbau agar warga masyarakat melindungi datanya. Hal ini untuk mencegah berbagai kebocoran data pribadi yang dipegang badan publik dalam beberapa tahun terakhir, sehingga badan publik sebagai pemangku kepentingan untuk ditingkatkan kesadarannya dalam perlindungan data,” kata Faiz Rahman.
Selain itu, Faiz juga mengharapkan ada independensi lembaga pengawas yang posisi dan kedudukannya diserahkan kepada Presiden berbentuk non kementerian. “Lembaga pengawas independen sangat penting karena banyak kebocoran data terjadi di lembaga pemerintahan dan tidak sedikit dari lembaga swasta,” kata Faiz.
Dijelaskan Faiz, RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden menjadi Undang-Undang pada 20 September 2022 lalu. Kehadiran UU PDP ini diharapkan bisa menjadi instrumen hukum untuk mengatur secara spesifik perlindungan data pribadi di tengah maraknya kebocoran data pribadi yang justru berasal dari lembaga pemerintah.
BACA JUGA : Untuk Hindari Kebocoran, Pemerintah Segera Selesaikan Peraturan dan Juknis Keamanan Data
Faiz Rahman menambahkan inisiasi RUU PDP sudah dilaksanakan tahun 2012 lalu, namun baru disahkan menjadi Undang-Undang 10 tahun kemudian. Meski terkesan terlambat namun ia mengapresiasi bahwa akhirnya Indonesia memiliki UU PDP.
“Di tingkat UU, sudah ada 120 negara di dunia memiliki UU PDP. Kita mungkin masuk ke-127. Di Asean sendiri, kita berada di urutan kelima setelah Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand,” kata Faiz Rahman.
Menurut Faiz, pengesahan UU PDP bisa mengakomodasi kebutuhan masyarakat selama ini yang merasa dirugikan akibat kebocoran data pribadi. Meski demikian, UU tersebut perlu mendapat catatan kritis dalam berbagai hal. Di antaranya, perlindungan kelompok rentan dan termarjinalkan.
“Perlindungan data bagi anak dan disabilitas. Meskipun data anak sendiri ada perdebatan. Lalu dihilangkannya jenis data pribadi yang lebih spesifik soal orientasi seksual dan pandangan politik,” katanya. (*)
BACA JUGA : Drone Emprit Mendesak Presiden Segera Bentuk Komisi Independen PDP
Ikuti informasi penting tentang berita terkini perguruan tinggi, wisuda, hasil penelitian, pengukuhan guru besar, akreditasi, kewirausahaan mahasiswa dan berita lainnya dari JURNAL PERGURUAN TINGGI. Anda juga bisa berpartisipasi mengisi konten di JURNAL PERGURUAN TINGGI dengan mengirimkan tulisan, foto, infografis, atau pun video. Kirim tulisan Anda ke email kami: heri.purwata@gmail.com.