Sat. Dec 7th, 2024

TEMPO.CO, Jakarta – Para aktivis menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas Judicial Review Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) sangat mengecewakan pemohon dan juga publik. 

“Putusan MK Nomor 37/PUU-XIX/2022, Tanggal 29 September 2022 ini memperkokoh kepentingan oligarki tambang sekaligus menghancurkan keselamatan rakyat,” tulis Tim Advokasi UU Minerba dalam keterangan tertulis, Kamis, 29 September 2022. 

Tim Advokasi UU Minerba yang menjadi kuasa para pemohon sekaligus yang kerap mendampingi masyarakat terdampak tambang menilai, hakim MK hanya menjadi corong pemerintah dan mengabaikan hak konstitusi rakyat atas keselamatan hidup dan lingkungan yang sehat. 

Dalam sidang pembacaan putusan yang digelar pada Kamis, 29 September 2022, majelis hakim MK menolak tiga dari empat pokok permohonan Judicial Review UU Minerba, yaitu terkait (1) menjauhnya akses partisipasi dan layanan publik terkait pertambangan akibat penarikan kewenangan pertambangan pemerintah daerah ke pusat; (2) potensi pengkriminalan masyarakat penolak tambang oleh Pasal 162 UU Minerba; dan (3) jaminan perpanjangan otomatis bagi KK dan PKP2B. 

Selain itu, majelis hakim mengabulkan sebagian dari pokok perkara terkait jaminan tidak ada perubahan pemanfaatan ruang yang diberikan pada pemegang Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK), dan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), dengan memberikan penafsiran ‘sepanjang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku’. 

Hakim Hanya Utamakan Dalil Pemerintah

Menurut Tim Advokasi UU Minerba, dalam pertimbangan majelis hakim yang dibacakan dalam sidang terlihat jelas bahwa MK lebih banyak menggunakan dalil yang diajukan oleh pemerintah sebagai pembelaan, termasuk pada dalil yang dikabulkan sebagian. Sebaliknya, majelis hakim justru mengabaikan argumentasi pemenuhan hak partisipasi masyarakat dan hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Tim Advokasi UU Minerba juga menilai keputusan MK tersebut jelas bertentangan dengan komitmen iklim negara untuk transisi energi. Sebaliknya, keputusan itu telah memberikan ruang pada oligarki perusak lingkungan untuk mengeruk lebih banyak cuan dan menyebabkan kerusakan.

Dalam permohonan terhadap Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (3) UU Minerba yang menyebabkan menjauhnya akses partisipasi dan layanan publik terkait pertambangan akibat penarikan kewenangan pertambangan pemerintah daerah ke pusat, pertimbangan MK berfokus pada pembagian urusan pemerintahan pusat dan daerah yang bukan menjadi inti permohonan. 

MK justru tidak mempertimbangkan argumentasi akses masyarakat atas layanan publik dan gagal melihat kenyataan yang sudah terjadi di masyarakat pasca berlakunya UU Minerba. Saat ini, menurutnya Tim Advokasi UU Minerba, masyarakat kesulitan mengadukan perusahaan tambang yang merusak wilayah mereka karena harus mengadu ke pemerintah pusat.

Juru bicara #BersihkanIndonesia, Kanopi Bengkulu, Ali Akbar berpendapat keputusan MK telah mengkhianati agenda reformasi. Sebab, salah satu hal penting yang dihasilkan reformasi adalah mendekatkan warga dengan pemerintah melalui pemerintah daerah. 

Ketika kewenangan daerah ditarik menjadi kewenangan pemerintah pusat, kaya Ali, ini kemunduran karena mengabaikan prinsip otonomi daerah. Akibatnya, nasib masyarakat di sekitar industri ekstraktif pertambangan yang dikorbankan.

Rere Jambore Christanto dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi mengatakan apa yang terjadi di Trenggalek, seharusnya bisa menjadi bahan pertimbangan MK. Di sana, bupati sudah mengirimkan surat untuk mencabut pertambangan emas. Kemudian Wakil Gubernur Jawa Timur mendukung surat tersebut.”Jadi dua pejabat daerah sudah berkirim surat untuk pencabutan izin, tapi pemerintah pusat tidak membatalkan izin yang dikeluarkan,” ujarnya. 

Putusan MK pun dinilai gagal untuk melihat hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat secara holistik. Rere mengatakan dari putusan MK tampak sama sekali tidak mempertimbangkan argumen Pemohon, bahwa jaminan tidak adanya perubahan pemanfaatan ruang pada wilayah pertambangan. “Putusan itu menihilkan semua saran dan masukan masyarakat yang menolak tambang akibat kerusakan lingkungan di sekitar ruang hidup mereka,” tuturnya. 

Tim Advokasi UU Minerba dari LBH Bandung, Lasma Natalia berujar MK mengabulkan sebagian terkait pasal-pasal jaminan pemanfaatan ruang bagi wilayah pertambangan, namun dengan argumen yang disampaikan pemerintah. Ia menilai MK gagal melihat bahwa hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat terdiri dari hak substansial dan hak prosedural.

MK pun, menurutnya, tidak mempertimbangkan sama sekali pemenuhan aspek prosedural hak atas lingkungan, yakni layanan publik, partisipasi, keadilan. Karenanya, akan berdampak pada pemenuhan substansi hak atas lingkungan masyarakat sekitar tambang nantinya. 

Menurut Lasma, MK justru mengulangi kekacauan berpikir pemerintah dengan mengamini argumen bahwa evaluasi dan revisi rencana tata ruang menyesuaikan izin usaha pertambangan yang sudah ada, meskipun terdapat penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. 

Jatam: Putusan MK Pukulan bagi Masyarakat

Adapun Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur (Jatam Kaltim) khawatir UU Minerba akan mempersempit ruang partisipasi masyarakat karena seluruh proses penetapan wilayah pertambangan tidak lagi melibatkan masyarakat. 

“Kami takut, lahan pertambangan di Kalimantan Timur yang luasnya mencapai 5,2 juta hektar itu bisa meluas dan beban masyarakat semakin berat untuk melindungi kawasan dan aturan yang ada tidak bisa melindungi mereka ketika ada konflik,” kata Mareta Sari dari Jatam Kaltim.

Menurutnya, hasil dari Judicial Review UU Minerba ini merupakan pukulan bagi masyarakat, karena MK turut serta mempersempit ruang partisipasi publik. Putusan MK yang menyebut bahwa Pasal 162 merupakan pasal prematur berbeda dengan kenyataan di masyarakat yang selama ini, kata Mareta, justru dikriminalisasi menggunakan pasal tersebut.

Judianto Simanjuntak dari Tim Advokasi UU Minerba menuturkan MK telah menganggap bahwa gugatan terhadap Pasal 162 prematur karena UU Cipta Kerja dinyatakan harus diperbaiki pemerintah selama 2 tahun. Namun masalahnya, ucap di, mengapa masih ada masyarakat yang menolak pertambangan yang dikriminalisasi menggunakan pasal tersebut. “Ini namanya pembungkaman terhadap masyarakat,” ujar Judianto.

Menurut dia, apabila uji undang-undang itu dinyatakan prematur karena Pasal 162 yang diubah oleh UU Cipta Kerja itu dibekukan, seharusnya aparat kepolisian dan pemerintah tidak boleh menggunakan Pasal 162 tersebut untuk mengkriminalisasi warga yang menolak tambang. Terlebih, menurutnya, negara harus konsisten atas hal tersebut. 

RIANI SANUSI PUTRI 

Baca Juga: Deretan Pasal Kontroversi UU Minerba

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *