REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof. Ferid Muhic, Filsuf dan Cendikiawan Bosnia.
Kekerasan dunia saat ini yang meluas dan berasal dari konsep ketidakpersetujuan, telah mengubah, bahkan masyarakat yang paling demokratis, untuk menjadi sekte fasis yang antagonis dan konfrontatif. Ini karena, ingatlah, fasisme sebenarnya adalah tuntutan untuk persetujuan tanpa syarat dari setiap individu dalam sebuah kelompok dalam segala hal.
Kebebasan untuk memilih, dengan kemampuan kedewasaan, kesadaraan dan ketegasaan diri, dan mengatakan “Iya” terhadap kehidupan, cinta, persahabatan, partai politik, agama adalah fondasi untuk kehidupan, cinta, persahabatan, politik, agama. Ini betul, tetapi bahkan “Iya” seperti ini sama sekali tidak berarti mentiadakan hak untuk mangatakan “Tidak” yang sama-sama berdasar pada kemampuan kedewasaan, kesadaraan dan ketegasaan diri, untuk segala sesuatu yang tampaknya tidak dapat diterima oleh kita.
Itu karena menerima hidup, mencintai dan berteman, menerima cita-cita partai politik, menyelaraskan jiwa dengan prinsip tertinggi keimanan, bukan berarti penyerahkan diri, kebebasan diri maupun akal sehat diri. Justru sebaliknya! Tanpa memiliki pendirian diri sendiri, tanpa kebebasan untuk memilih, tanpa menghormati akal diri, seseorang tidak dapat hidup secara seutuhnya manusiawi, tidak dapat mencintai, tidak dapat berteman, tidak dapat mengikuti cita-cita politik, atau tidak dapat memuliakan jiwanya dengan napas kebenaran tertinggi yang hanya kita terima melalui religiusitas kita sendiri.
Filsuf Hegel dengan tepat mengamati bahwa tindakan berpikir pertama adalah “Tidak”. Jika disiplin Filsafat Ketidaksepakatan pernah dibentuk, posisi pertamanya adalah bahwa segala sesuatu pendapat harus selalu mempertanyakan dan tidak setujui dahulu. Hanya melalui ketidakesepakatan ”Tidak”, kepribadian dan pendapat ditegaskan dalam tindakan sebagai tindakan pribadi. Kalau persetujuan”Iya”, mungkin juga dan mungkin tidak.
Kemalasan berpikir, linglung, oportunisme, tekanan dari lingkungan dapat memainkan peran yang menentukan, seperti yang sering terjadi dalam banyak keputusan di mana kita telah memblokir diri kita sendiri dan meninggalkan karunia berpikir dan kewajiban untuk berpikir.
Oilihan sikap menyetujui, mengatakan “Saya setuju”, tidak diragukan lagi merupakan kondisi yang diperlukan dan landasan terdalam dari setiap manusia, terutama kehidupan sosial, cinta dan persahabatan, aktivitas politik, religiusitas yang autentik. Tetapi untuk mempertahankan hak berdaulat untuk tidak setuju, untuk mennolak dengan mengatakan, “Saya tidak setuju”, bahkan jika semua orang lain mengatakan “Iya”, berarti itu adalah sebuah kemampuan untuk menegaskan pendirian diri sendiri, untuk melestarikan dasar kehidupan yang paling berharga. Bahkan juga sebagai syarat yang paling penting untuk pembentukan masyarakat, yaitu untuk mempromosikan toleransi, untuk merangsang keberanian semua orang yang telah disapih oleh represi dari pemikiran perbedaan pendapat.
Kekerasan yang meluas terhadap konsep ketidaksepakatan atau beda pendapat telah mengubah, bahkan masyarakat yang paling demokratis menjadi sekte fasis yang saling berhadapan secara antagonis, Maka karena itu, mari kita ingat, arti fasisme sebenarnya yang berarti tuntutan untuk persetujuan tanpa syarat dari semua orang dalam segala hal!
Fasisme menganggap setiap ketidaksetujuan yang datang dari internal (individu maupun kelompok) sebagai pengkhianatan dan kejahatan, dan yang datang dari eksternal sebagai pernyataan perang dan permusuhan.
Sebaliknya, kita melihat bagaimana generasi baru ini telah kehilangan kesadaran akan hak dan dasar untuk perbedaan pendapat. Kami menyaksikan bagaimana, sebaliknya, mereka disuntik dengan keyakinan bahwa hanya pandangan mereka yang dibenarkan dan oleh karena itu mereka memiliki hak untuk membungkam dan menganiaya semua orang yang menyatakan pendapat berbeda.