Jakarta (ANTARA) – Ketika Perang Dingin berakhir pada 1990-an, berakhir pula tatanan bipolar yang berganti multilateralisme yang kemudian mendorong konektivitas global mencapai level yang tak pernah terjadi pada era mana pun sebelumnya sampai memunculkan kecenderungan yang dikenal dengan globalisasi.
Dana Moneter Internasional (IMF) menyebut empat aspek mendasar dalam globalisasi, yakni perdagangan dan transaksi, pergerakan modal dan investasi, migrasi dan perpindahan manusia, serta penyebarluasan ilmu pengetahuan.
Sementara itu, globalisasi sendiri mencakup tiga area besar, meliputi globalisasi ekonomi, globalisasi budaya dan globalisasi politik.
Saat itu nafas globalisasi menghidupkan hampir segala aspek hubungan internasional yang sering akhirnya bermuara pada aspirasi dan upaya kolektif dalam memperlakukan globalisasi.
Tapi, di sejumlah kawasan, upaya bersama ini berkembang jauh menjadi integrasi kawasan seperti terjadi pada Eropa ketika mengintegrasikan diri kepada Uni Eropa pada 1993.
Keberhasilan Uni Eropa mendorong lahirnya pakta-pakta perdagangan bebas, mulai dari pakta perdagangan bebas Amerika Utara (NAFTA) sampai pakta perdagangan bebas Asia Tenggara (AFTA) dan Kerja sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC).
Belakangan integrasi yang sudah mewujud seperti Uni Eropa dan yang masih dalam upaya mewujudkan, dikritik sejumlah kalangan yang merasa hak negara dalam memutuskan kebijakan nasionalnya terkikis oleh integrasi ekonomi dan politik seperti Uni Eropa.
Mereka bahkan menganggap konsensus bersama yang membentuk Uni Eropa, telah membelenggu anggota-anggotanya.
Birokrasi kawasan pun dianggap telah memangkas kewenangan negara dalam memformulasikan kebijakan nasional.
Mendiang mantan Perdana Menteri Inggris, Margareth Tatcher, yang justru penggagas Eropa bersatu, malah mengkhawatirkan Uni Eropa menjadi sebuah “negara super” yang bisa mengintervensi dan bahkan meniadakan kewenangan negara.
Pandangan ini kemudian dikembangbiakkan oleh tokoh-tokoh kanan yang menolak multilateralisme, dan sebaliknya menganjurkan semua pola hubungan berpijak kepada kepentingan nasional semata.
Mereka mendirikan entitas-entitas politik baru atau menyusupi entitas politik yang sudah mapan seperti terjadi di Inggris pada Partai Konservatif, dalam upaya mempromosikan ide mereka.
Di Inggris, pandangan ini membagi rakyat kepada yang pro dan yang menentang Uni Eropa, sampai memuncak menjadi referendum pada 2016 yang hasilnya mengamanatkan Inggris keluar dari Uni Eropa yang dikenal dengan istilah Brexit. Empat tahun kemudian Inggris merealisasikan perceraiannya dengan Uni Eropa.
Brexit menyingkapkan paradoks globalisasi di mana melangkah bersama ternyata dianggap menggerogoti kewenangan nasional oleh sebagian kalangan.
Pandangan ini tak melulu terjadi di Eropa karena kawasan-kawasan lain pun begitu, termasuk Amerika Serikat.
Tak lama setelah Referendum Brexit pada 2016, Donald Trump memenangkan pemilihan presiden di AS setelah mengusung platform “America First” di bawah slogan “Make America Great Again“.
Dia menentang keras globalisasi sampai berusaha menceraikan AS dari semua platform multilateral, mulai NAFTA, WTO, sampai pakta pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Ide Trump diamini tokoh-tokoh kanan di seluruh dunia yang menolak pergerakan manusia lintas negara sebagai akibat dari pergerakan modal lintas negara, yang menjadi salah satu aspek globalisasi.
Lalu dunia diamuk pandemi COVID-19 sejak awal 2020. Bahkan, keadaan pandemi yang semestinya membuat dunia bersatu melawannya malah membuat sebagian besar negara jalan sendiri-sendiri, mengesampingkan kerangka kerja sama multilateral.
Apalagi tekanan politik domestik karena nadi ekonomi terhenti akibat lockdown dan kebijakan pembatasan perjalanan demi membendung COVID-19, telah membuat negara-negara semakin ingin jalan sendiri-sendiri demi memburuh kepentingan dalam negerinya.
Tantangan global
Kecenderungan seperti itu tak berhenti ketika dunia bersiap memasuki era tanpa pandemi COVID-19.
Hanya lembaga-lembaga internasional seperti PBB, Bank Dunia, dan IMF yang konsisten meminta dunia bekerja sama dalam kerangka multilateral.
Sementara di Rusia, Presiden Vladimir Putin yang asyik merenungkan romantisme kejayaan imperium Rusia era Peter Yang Agung dan Katarina Yang Agung pada abad ke-17 dan 18, malah menduduki Ukraina yang kemudian memperparah krisis pasokan, selain memicu krisis energi dan pangan.
Semua menurutkan kata hati sendiri dan merangkul pandangan Donald Trump yang menolak multilaralisme, dengan lebih memburu kepentingan nasional pada tingkat ekstrem yang mengesampingkan dialog dan kompromi antarbangsa.
Dalam beberapa hal ini juga terjadi pada negara-negara seperti Arab Saudi yang tak menggubris seruan dunia agar tak memangkas kuota produksi minyak karena langkah ini bisa kian menaikkan harga minyak untuk akhirnya memperparah krisis energi.
Tapi Saudi hanya negara yang berusaha proaktif sebelum langkah bank sentral-bank sentral Barat dalam menaikkan suku bunga untuk menekan inflasi, menggerogoti fondasi ekonominya yang bertumpu pada harga minyak.
Sejak Juli 2021, 75 bank sentral yang mencapai tiga perempat dari total bank sentral di seluruh dunia, telah menaikkan suku bunga acuan rata-rata 3,8 kali per bank sentral.
Saudi khawatir tren ini memperbesar potensi resesi global yang pada gilirannya menekan permintaan minyak dan kemudian menurunkan harga minyak yang pada gilirannya merugikan Saudi. Padahal dalam delapan tahun terakhir Saudi terus mengalami defisit akibat harga minyak yang rendah dan dampak pandemi Covid-19.
Saudi ingin anggarannya surplus, apalagi ini berkaitan dengan masa depan proyek-proyek domestik, selain demi mencegah ketidakpuasan di dalam negeri akibat ekonomi tertekan oleh berkurangnya pemasukan dari minyak.
Ini hanya satu dari banyak gambaran mengenai hubungan internasional yang sudah semakin rumit.
Di satu sisi, dunia begitu terkoneksi, tetapi di sisi lain semua berusaha menjauhi kerangka kerja sama multilateral, padahal kerangka non multilateral bisa juga berdampak buruk kepada dunia secara keseluruhan. Contohnya, perang dagang antara AS dan China semasa pemerintahan Donald Trump yang membuat ekonomi banyak negara ikut terpukul.
Kabar baiknya, hampir semua negara yang saat ini bertikai di medan politik, ekonomi dan perdagangan saat ini, berkumpul dalam satu forum global bernama Kelompok 20 atau G20.
Beranggotakan 19 negara dan Uni Eropa yang menghimpun 80 persen dari total produksi kotor dunia (GWP), 77 persen perdagangan internasional dan mencakup dua per tiga dari total penduduk dunia, G20 terlihat menjadi tempat istimewa yang bisa mendudukkan lagi kerja sama internasional sebagai landasan penting dalam mendorong kembali pertumbuhan dan kemakmuran dunia.
Apalagi saat ini rangkaian konflik, dari ekonomi sampai geopolitik, membuat dunia terancam tenggelam dalam krisis berkepanjangan.
IMF sudah mengingatkan bahwa tahun depan dunia bakal dilanda resesi global. Prolognya sudah terlihat dari kontraksi yang tahun ini akan dialami sepertiga ekonomi dunia, akibat krisis harga dan pendapatan.
Menurut IMF, tanpa kalibrasi kebijakan moneter, pengakhiran perang di Ukraina dan mengatasi kekacauan dalam rantai pasokan akibat pandemi, maka resesi sulit dihindarkan.
Tapi semua itu membutuhkan kepemimpinan global yang kuat yang bisa merumuskan langkah untuk menyelamatkan dunia diri dari resesi, melalui format kerja sama global. Dan ini bisa dimulai dari G20.
“Tantangan global membutuhkan kerja sama dan sinkronisasi bauran kebijakan makro maupun fiskal serta instrumen kebijakan untuk mengatasi masalah bersama dan mendukung pemulihan ekonomi secara efektif,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 di Washington, Amerika Serikat, beberapa hari lalu.
Seruan Sri Mulyani serupa dengan yang peringatan-peringatan yang dilontarkan lembaga-lembaga global seperti Bank Dunia dan IMF yang melihat tren jalan sendiri-sendiri mulai sangat mengkhawatirkan masa depan dunia, apalagi tak hanya menyangkut otoritas moneter, fiskal dan keuangan yang tidak sinkron di banyak negara yang membuat krisis acap gagal dipetakan, tapi juga karena sikap sebagian negara yang menjauhi multilateralisme.
Ini tantangan besar, termasuk untuk forum sebesar G20. Tetapi dari apa yang terlihat selama Indonesia mengetuai G20, ada upaya keras dalam menguatkan lagi multilateralisme dan kerja sama internasional sebagai mekanisme untuk membuat upaya-upaya yang bisa menghindarkan dunia dari krisis, termasuk resesi global.
COPYRIGHT © ANTARA 2022