Jakarta, CNBC Indonesia – Malaysia kini mengalami krisis baru. Ini terkait pasokan telur ayam di negeri itu.
Kelangkaan terjadi di beberapa wilayah. Ini membuat frustrasi konsumen di Negeri Jiran.
Suplai telur yang terbatas juga menganggu pelaku industri dan konsumen. Mereka khawatir kondisi tersebut akan bertahan dalam waktu yang lama.
Presiden Federasi Asosiasi Pedagang Barang Serba-serbi Malaysia, Hong Chee Meng, mengatakan ketersediaan telur di pasaran hanya bertahan dalam waktu singkat.
“Menurut anggota kami, semua telur ‘disikat’ hanya dalam waktu beberapa jam ketika mereka tiba di gerai yang ditunjuk,” katanya, dikutip The Strait Times, Kamis (27/10/2022).
Dia mengatakan kelangkaan tersebut disebabkan oleh peternakan unggas yang mengurangi produksi. Itu karena kenaikan harga jagung dan bungkil kedelai, dua bahan utama pakan ayam.
Kelangkaan ini juga menjadi viral di media sosial. Banyak warga yang mencermati media sosial untuk mengikuti jejak telur di lingkungan mereka.
“Kami memantau grup komunitas Facebook untuk ‘pembaruan telur’. Begitu ada kabar telur restock di outlet tertentu, pasti akan ramai mengantre dan mendapatkan pasokan,” kata seorang ibu rumah tangga, Lim Ai Swam, yang tinggal di Batu Pahat, Johor.
Lim, yang membutuhkan 20 butir telur setiap minggu untuk keluarganya. Ia menambahkan bahwa kekurangan itu belum pernah terjadi sebelumnya.
“Seharusnya ada cukup telur. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya,” ujarnya.
Presiden Asosiasi Pedagang Barang Serba-serbi Pantai Klang, Tan Teck Hock, mengatakan konsumen harus membeli telur kampung, meskipun pasokannya juga turun hingga 50%.
Pada 10 Oktober, pemerintah Malaysia mengumumkan akan mempertahankan harga pagu telur. Tetapi peternak unggas telah meminta pemerintah untuk melakukan deregulasi harga telur untuk membantu mereka mengatasi kenaikan biaya pakan.
Mekanisme kontrol harga berlaku untuk telur grade A, B, dan C dengan berat antara 59,9 gram dan 65 gram. Itu tidak mencakup telur ‘perancang’ yang diperkaya dengan asam lemak Omega-3 dan telur kampung atau yang diproduksi secara organik.
Wakil Presiden Federasi Asosiasi Peternak Malaysia, Lee Yoon Yeau, mengatakan bahwa situasinya tidak akan membaik. Kecuali pemerintah membiarkan harga telur mengambang.
“Jika ringgit merosot lebih jauh terhadap dolar AS dalam waktu dekat, bahan baku pakan impor akan menjadi lebih mahal. Ini akan menyebabkan biaya produksi telur lebih tinggi, dan peternak akan makin terkendala secara finansial,” tuturnya.
“Situasi ini kemungkinan akan berlanjut sepanjang tahun depan,” imbuhnya.
Artikel Selanjutnya
Bye “Kiamat” Ayam! Penyelamat Singapura Sudah Datang, RI?
(sef/sef)