REPUBLIKA.CO.ID, MALANG — Center For Asian Studies Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) belum lama ini menggelar seminar Multiculturalism for the Human Development in Asian Community. Kegiatan ini dilaksanakan secara luring di Aula GKB Lantai 9 UMM.
Guru Besar Universitas Pattimura, Profesor Albertus Fenanlampir mengatakan, bangsa Asia termasuk bangsa yang sangat kaya dengan keberagaman, baik suku, budaya, agama, ras, hingga bahasa. Sebab itu, dibutuhkan kesadaran dan orientasi sosial untuk mendeskripsikan fenomena multikulturalisme.
Fenanlampir pada umumnya membahas terkait awarness and people oriented in Asian multiculturism. Menurutnya, benua asia termasuk terbesar di dunia yang meliputi 30 persen luas daratan bumi dan 44,58 juta kilometer (km) persegi. “Atau sekitar 4,38 kali lebih besar dari benua Eropa dan menyumbang 30 persen total daratan bumi,” ucap Fenanlampir dalam pesan resmi yang diterima Republika, Rabu (26/10/2022).
Selain itu, Asia merupakan tempat berkembangnya agama besar di dunia. Asia menjadi tempat kelahiran agama besar dan ratusan agama kecil. Beberapa di antaranya seperti Hindu dan Budha berasal dari India, Kristen Protestan dan Kristen Katolik dari Yerusalem, Kong Hu Chu dari Tiongkok dan Islam yang berasal dari Arab Saudi.
Melalui keberagaman tersebut, maka akan melahirkan interaksi sosial dari berbagai latar belakang yang berbeda ke masyarakat. Interaksi dan komunikasi antar-orang, organisasi, lembaga yang berbeda latar belakang budaya terjadi setiap waktu. Ia mengingatkan bahwa perbedaan dan keanekaragaman adalah sesuatu yang alamiah dan setiap orang serta bangsa memiliki keunikan tersendiri.
Memiliki kesadaran sosial dan memahami ragam budaya termasuk hal penting. Dalam hal ini terutama tentang kesadaran seseorang untuk bisa membaca, menyadari serta memahami orang di sekitarnya dan lingkungannya. Pemahaman tersebut menjadi dasar untuk bertindak secara tepat dalam situasi yang ada.
Selanjutnya, ia menjelaskan terkait multikulturalisme. Masyarakat multikultur termasuk kelompok yang terbagi dalam bagian sistem yang berdiri sendiri dan masing-masing bagian sistem terkait oleh ikatan premordial. Dia berpendapat, masyarakat Asia sangat multikultural dan tantangan yang dihadapi oleh bangsa asia adalah rawan bencana sosial.
Di sisi lain, keberagaman budaya di Asia memang rawan konflik sehingga membutuhkan solusi kongkret dalam menyelesaikan masalah tersebut. Sebab itu, munculah konsep multikulturisme yang dijadikan acuan terbentuknya masyarakat multikultural yang damai. Hal ini karena terkandung pengakuan akan martabat hidup dengan kebudayaannya masing-masing.
Sementara itu, Dosen UMM, Pradana Boy, menjelaskan multikulturalisme dapat terbentuk dari berbagai aspek antara lain perdagangan, perang dan kolonialisme. Terkhusus perdagangan, faktor ini mempertemukan berbagai etnis dalam suatu praktek jual beli barang ataupun jasa. Hal tersebut dibuktikan dengan kedatangan bangsa Arab dan China ke Nusantara pada abad ke-5 Masehi.
Wakil Dekan I Fakultas Agama Islam (FAI) UMM ini mengatakan dalam aspek kolonialisme, Belanda di Indonesia membentuk multikulturalisme secara tidak langsung. Hal ini dapat dilihat dari praktek pengasingan dan mendatangkan pekerja asing dari negara Asia Timur. M
Kemudian ini membentuk sebuah komunitas atau masyarakat dari latar belakang etnis yang bermacam-macam.
Selain itu, terdapat misi menyebarkan agama yang semakin memperlebar makna multikulturalisme yang bukan hanya berdasar etnis. Misi kolonialisme dalam menyebarkan ajaran kristiani membentuk aspek baru dalam keberagaman umat beragama. “Jadi multikulturalisme tidak hanya dilihat dari etnis maupun ras saja,” ucap pria asli Lamongan ini.