TEMPO.CO, Jakarta – Keluarga korban tragedi Kanjuruhan yaitu orang tua dari NBR (16) dan NDA (13) membuat laporan ke Polres Malang, Jawa Timur, terkait dugaan pembunuhan. Kuasa hukum Devi Athok, Imam Hidayat mengatakan bahwa laporan yang disampaikan ke Polres Malang tersebut terkait tewasnya dua putri Devi Athok dalam peristiwa Tragedi Kanjuruhan.
“Kami melaporkan dugaan adanya tindak pidana pembunuhan dan pembunuhan berencana,” kata Imam yang juga Ketua Tim Advokasi Korban Tragedi Kanjuruhan Malang (Tatak) Rabu 9 November 2022.
Imam menjelaskan laporan tersebut dibuat terkait dugaan tindak pidana pembunuhan dan pembunuhan berencana sesuai Pasal 338 dan 340 Jo 55 dan 56 KUHP tentang Pembunuhan dan Pembunuhan Berencana terkait peristiwa yang terjadi di Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022.
Menurutnya, tim hukum telah menyerahkan sejumlah bukti kepada pihak kepolisian di antaranya surat kematian dan foto-foto dua putri Devi Athok. Selain itu, tim hukum telah menyiapkan empat orang saksi terkait pelaporan tersebut. “Kami sudah menyiapkan empat orang saksi. Tapi belum bisa kami sampaikan siapa saja karena mereka perlu kami lindungi,” ujarnya.
Ia menambahkan pihak terlapor dalam laporan tersebut adalah pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab atas korban meninggal terutama di tribun 13. Laporan tersebut telah disampaikan ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polres Malang.
“Mereka yang diduga melakukan tindak pidana Pasal 338 dan Pasal 340, Juncto Pasal 55 dan Pasal 56,” katanya.
Tempo masih berupaya untuk meminta tanggapan pihak terlapor.
Korban meninggal 135 orang
Pada Sabtu 5 November lalu, proses autopsi dilakukan kepada NBR (16) dan NDA (13) yang merupakan kakak beradik, anak dari Devi Athok. Devi Athok merupakan warga Kecamatan Bululawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Proses autopsi dilakukan di Pemakaman Umum Dusun Patuk, Desa Sukolilo, Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang. Dua korban Tragedi Kanjuruhan tersebut dimakamkan berdampingan dengan makam ibu mereka yang juga menjadi korban dalam peristiwa tersebut.
Seperti diberitakan pada Sabtu 1 Oktober terjadi kericuhan usai pertandingan antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya dengan skor akhir 2-3 di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang. Kekalahan itu menyebabkan sejumlah suporter turun dan masuk ke dalam area lapangan.
Kerusuhan tersebut semakin membesar di mana sejumlah “flare” dilemparkan termasuk benda-benda lainnya. Petugas keamanan gabungan dari kepolisian dan TNI berusaha menghalau para suporter tersebut dengan menggunakan gas air mata.
Akibat kejadian itu, sebanyak 135 orang dilaporkan meninggal dunia akibat patah tulang, trauma di kepala, leher, dan asfiksia atau kadar oksigen dalam tubuh berkurang. Selain itu, dilaporkan ada ratusan orang yang mengalami luka ringan dan berat.
Baca: Tragedi Kanjuruhan: Tim Gabungan Aremania Sudah Terima Laporan dari 60 Orang