
Jakarta, CNBC Indonesia – Kabar duka datang dari sektor energi Tanah Air. Menteri Pertambangan dan Energi periode 1978-1988, Subroto, menghembuskan napas terakhir kemarin (20/12/2022). Selama hampir satu abad, ia banyak menghabiskan waktunya di dunia ekonomi dan energi, baik di Indonesia atau dunia. Pemikiran kritisnya menjadi warisan yang dirasakan hari ini.
Subroto tidak pernah menyangka jika pertemuannya dengan Soeharto di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD) pada Agustus 1966 membawanya terjun ke dunia pemerintahan. Kala itu, ia bersama orang-orang yang kelak dikenal sebagai “Mafia Berkeley”, yakni Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Mohammad Sadli, dan Emil Salim diundang Soeharto untuk memberikan pendapat soal perbaikan ekonomi negara. Soeharto yang tidak terlalu mengerti ekonomi, setuju atas saran mereka dan memintanya untuk membuat rancangan penataan ekonomi.
Setahun kemudian, para ekonom muda Universitas Indonesia itu diminta Soeharto, yang saat itu sudah memegang kendali kekuasaan, bekerja bersama sebagai Tim Ahli di bidang Ekonomi dan Keuangan” dan bertugas menyusun Program Stabilisasi dan rehabilitas. Dari sinilah, Subroto menjadi pejabat publik dengan memegang posisi sebagai Direktur Jenderal Pemasaran Departemen Perdagangan sampai 1973.
Kepiawaian Subroto yang berhasil menaikkan ekspor Indonesia lewat Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN), membuatnya dipercaya memegang posisi menteri. Mulai dari Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Koperasi periode 1973-1978 dan Menteri Pertambangan dan Energi periode 1978-1988. Jabatan menteri terakhir inilah yang membuat namanya melambung.
Pentolan Migas
Saat Subroto menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan Energi, sektor energi Indonesia sedang berada di atas puncak. Menurut Anne Booth dalam The Indonesian Economy in the Nineteenth and Twentieth Centuries (1998), hal ini disebabkan karena tingginya angka ekspor minyak bumi dari negara-negara Barat yang terdampak embargo dari negara Timur Tengah. Berdasarkan situasi inilah, Subroto mendapat dua tugas utama: mengawal perdagangan energi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat lewat perluasan energi.
Dalam kesaksian Widjojo Nitisastro dalam Broto: Tak Kenal Lelah (2004), pria kelahiran 19 September 1923 ini berambisi untuk menggenjot produksi minyak dalam negeri lewat percepatan pembangunan kilang minyak baru, salah satunya ekspansi kilang di Balikpapan dan Cilacap. Cara ini terbukti efektif menaikkan angka ekspor minyak ke luar negeri. Indonesia mendapat untung besar dan semakin mengukuhkan posisi di dunia sebagai negara pengeskpor minyak lewat organisasi OPEC.
Selain itu, tak hanya fokus pada produksi minyak, Subroto juga mengalokasikan keuntungan untuk program pembangunan. Dalam buku Transformasi Pertamina (2009), Subroto melalui Pertamina membuat kebijakan pemerataan BBM dan penyaluran minyak tanah murah untuk masyarakat. Selain itu, ia juga melahirkan kebijakan Listrik Masuk Desa yang menyasar desa-desa terpencil di pelosok Indonesia. Ia percaya seandainya listrik tersebar merata maka akan muncul pusat-pusat industri baru di berbagai daerah.
Keberhasilan mengelola industri migas membuat Subroto semakin mendapat panggung internasional. Ia kerap memberikan pemikiran tajam untuk perkembangan pasar minyak bumi global. Sikapnya inilah yang membuat disegani pemimpin dunia.
Pendekar OPEC
Satu peristiwa yang membuatnya semakin terkenal di dunia adalah saat memimpin sidang tahunan OPEC di Bali pada 1980. Kala itu, situasi politik global sedang memanas. Iran dan Irak sedang perang. Keduanya adalah anggota OPEC. Dipercaya, delegasi keduanya akan saling baku hantam di perhelatan OPEC tahun 1980. Jika ini terjadi, maka forum akan kesulitan mencapai titik temu. Dampaknya, membuat fluktuasi harga minyak semakin tidak karuan.
Situasi ini membuat pusing Subroto sebagai pemimpin sidang. Membatalkan sidang justru membuat kondisi makin runyam, maka ia mau tidak mau harus melaksanakan sidang. Singkat cerita, pelaksanaan sidang pun berhasil. Subroto dengan tenang mampu mengendalikan emosi delegasi Iran dan Irak sampai acara berhasil.
Beranjak dari sini, menteri perminyakan negara-negara OPEC meminta Subroto sebagai Sekjen OPEC. Sekjen OPEC adalah jabatan tertinggi, sekaligus yang paling berkuasa di organisasi pengekspor minyak tersebut. Dengan posisi itu, siapapun dapat “mengontrol” harga minyak dunia. Namun, karena masih menjabat sebagai menteri ia menolak permintaan itu. Barulah, saat selesai jabatan ia naik posisi menjadi Sekjen OPEC dua masa periode, dari tahun 1988-1994.
“Masa kepemimpinan Subroto di OPEC ditandai oleh tiga keberhasilan. Pertama, ia sukses mendamaikan berbagai ketegangan antara negara-negara anggota OPEC. Kedua, ia berhasil merinitis hubungan antara anggota OPEC dengan non-anggota untuk memperluas jangkauan pasar. Ketiga, berhasil menjalin kontrak dengan organisasi dan negara industri di seluruh dunia,” kenang Widjojo dalam Broto: Tak Kenal Lelah (2004).
[Gambas:Video CNBC]
(hoi/hoi)