TEMPO.CO, Jakarta – Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara, Franz Magnis-Suseno, menilai terdakwa kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, Richard Eliezer Pudihang Lumiu, memiliki dua unsur yang bisa meringankannya hukumannya dalam sudut pandang filsafat moral. Menurut dia, Richard berada dalam kondisi moral yang rumit ketika harus menerima perintah untuk menembak Yosua dari atasannya, Irjen Ferdy Sambo.
Franz Magnis-Suseno mengatakan ada unsur meringankan pertama bagi Richard adalah kedudukannya sebagai anggota kepolisian berpangkat rendah. Dalam tubuh kepolisian, menurut dia, terdapat budaya yang membuat bawahan tak bisa menolak perintah atasan. Hal itu, menurut Franz membuat Richard terpaksa utuk melaksanakan perintah Sambo.
“Budaya laksanakan itu adalah unsur yang paling kuat,” kata Franz saat menjadi saksi ahli dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin, 26 Desember 2022.
Unsur meringankan kedua, menurut Franz, adalah keterbatasan situasi yang sangat membingungkan karena pada saat itu Richard harus memiliki pertimbangan matang yang segera.
“Dia harus langsung bereaksi. Itu dua faktor yang secara etis yang meringankan,” kata Franz Magnis-Suseno.
Tak punya cukup waktu untuk mempertimbangkan perintah Ferdy Sambo
Guru besar filsafat moral ini mengatakan Richard berada dalam posisi yang rumut pada peristiwa 8 Juli tersebut. Pasalnya, dia tak memiliki keleluasaan waktu untuk memutuskan apakah akan menerima atau menolak perintah dari Ferdy Sambo itu.
“Kebebasan hati untuk masih mempertimbangkan dalam waktu berapa detik yang tersedia mungkin tidak ada,” kata saksi.
Franz Magnis-Suseno merupakan satu dari tiga saksi ahli meringankan yang dihadirkan pihak Richard hari ini. Dua saksi lainnya adalah Psikolog Klinik Dewasa Liza Marielly Djaprie dan Psikolog Forensik Reza Indragiri Amriel.
Kuasa hukum Richard, Ronny Talapessy, menyatakan bahwa ketiga saksi ahli itu dihadirkan untuk memberikan gambaran soal kondisi moral kliennya saat menerima perintah atau pun saat mengeksekusi Yosua
Cerita Richard soal pembunuhan Brigadir Yosua
Richard Eliezer mengaku mendapatkan perintah dari Ferdy Sambo untuk menembak Yosua saat di rumah Jalan Saguling 3, Jakarta Selatan, 8 Juli 2022. Richard mengatakan saat itu Sambo memerintahkan Ricky Rizal untuk memanggilnya ke lantai tiga.
Ferdy Sambo sempat menanyakan soal kejadian di Magelang sehari sebelumnya. Richard pun mengaku tak tahu soal kejadian tersebut.
Sambil menangis, menurut Richard, Sambo menceritakan bahwa Yosua telah melecehkan istrinya, Putri Candrawathi yang kemudian ikut dalam pertemuan itu dengan duduk di samping suaminya di sofa panjang.
Setelah itu, Richard menyatakan Ferdy Sambo menyampaikan perintah agar dia menembak Yosua. Sambo pun menceritakan detail rencana pembunuhan Yosua itu di rumah dinasnya di Komplek Polri Duren Tiga yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari rumah Saguling.
“Jadi gini Chad, lokasinya di 46 (rumah dinas). Nanti di 46 itu Ibu dilecehkan oleh Yosua, terus Ibu teriak kamu respons, terus Yosua ketahuan. Yosua tembak kamu, kau tembak balik Yosua, Yosua yang meninggal,” kata Richard menirukan perintah Ferdy Sambo saat menjadi saksi mahkota di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa, 13 Desember 2022.
Richard mengatakan saat itu Ferdy Sambo menyampaikan jelas perintahnya dan memastikan Putri Candrawathi mendengarnya. Kemudian Ferdy menjelaskan kembali skenarionya dan menguatkan Richard. Richard juga mengaku Putri Candrawathi saat itu sempat berbicara dengan Ferdy Sambo. Meski tidak terdengar jelas, Richard mengatakan Putri menyinggung soal CCTV dan sarung tangan.
Richard juga menyatakan Ferdy Sambo sudah mengenakan sarung tangan hitam dan memberikannya sekotak amunisi 9 milimeter untuk mengisi amunisi pistol Glock-17 miliknya saat di di rumah Saguling.
Saat eksekusi, Richard Eliezer mengaku melepaskan tiga atau empat tembakan ke arah tubuh Brigadir Yosua. Menurut dia, saat itu Yosua masih dalam keadaan hidup dan mengerang kesakitan. Nyawa Yosua hilang setelah Ferdy Sambo melepaskan tembakan ke arah kepala.