Jakarta, CNBC Indonesia – Pabrik-pabrik ex-garmen terpantau ramai-ramai dijual. Terpantau di situs penjualan online, pabrik-pabrik ini berlokasi di Jabodetabek hingga Jawa Tengah.
Unggahan agen penjual di salah satu situs penjualan online ini misalnya, menawarkan pabrik di jalan Raya Utama Pantura Perbatasan Tegal Pemalang.
Pabrik ini berstatus sertifikat SHM (Surat Hak Milik), dengan penawaran penjualan Rp160 miliar.
“Dijual Pabrik Eks-Garment. BARU OFF JANUARI 2022. Luas 7.3 Ha. Luas Bangunan 8.700 M2,” begitu deskripsi si agen, dikutip Rabu (11/1/2023).
“Perijinan masih berjalan. Izin Bea Cukai masih aktif. Akses masuk kendaraan 40 ft. Kondisi sudah tidak beroperasi,” tambahnya.
Ada juga pabrik ex-garmen di Tambun, Bekasi. Pabrik ini ditawarkan senilai Rp45 miliar, dengan luas 17.000 m2.
Iklan penawaran pabrik di salah satu situs penjualan online ini tercatat diunggah 5 hari lalu.
Hanya saja, tak tertera detail kontak si penjual dalam iklan tersebut.
“Dijual pabrik ex-garmen siap pakai dengan luas 17.000 m2 di Tambun Selatan, Bekasi. Luas bangunan 8.000 m2, sertifikat HGB (hak guna bangunan),” begitu deskripsi singkat yang tertera pada iklan penjualan tersebut, dikutip Rabu (11/1/2023).
Foto: Dijual Pabrik Garmen Masih Aktif Produksi Lokasi Karawang Timur. (Tangkapan layar rumah123.com)
Dijual Pabrik Garmen Masih Aktif Produksi Lokasi Karawang Timur. (Tangkapan layar rumah123.com) |
Selain itu, ada pabrik ex-garmen di Bitung, Tangerang yang ditawarkan dengan harga Rp125 miliar total.
Menurut agen yang mengunggah iklan di situs penjualan properti online, pabrik tersebut sudah tak beroperasi selama setahun.
“Dijual cepat bekas pabrik garmen (setahun tdk beroperasi)
Pabrik di jl. Utama Prabu Siliwangi Jatiuwung. Dari keluar tol Bitung arah Jatiuwung sekitar 3,5 km, kalau keluar tol Kedaton 9 km. Luas tanah 3 ha, bangunan. 1,3 ha. Dijual 125 m nego,” begitu deskripsi si agen.
Status sertifikat adalah HGB (Hak Guna Bangunan).
Lalu apa pemicu maraknya pabrik ex-garmen dijual?
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja menjelaskan, pabrik-pabrik tersebut dijual karena pemilik sudah tak bersemangat.
“Sebabnya bermacam-macam, utilisasi rendah, tidak bisa bersaing, akhirnya merugi, dan berujung ada yang tidak bisa bayar ke Bank,” kata Jemmy kepada CNBC Indonesia, Rabu (11/1/2023).
Dia menambahkan, pabrik-pabrik tersebut ada yang dijual karena efek anjloknya industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional di tahun 2022, tapi ada juga kena efek domino kondisi sebelumnya.
“Industri kuncinya market. Industri TPT Indonesia sebenarnya orientasi local market jauh lebih besar dari ekspor. Ekspor hanya di kisaran 30%, lokal 70%. Negara Produsen TPT dunia juga melirik market TPT Indonesia yang begitu besar,” katanya.
Indonesia, lanjut dia, negara dengan populasi terbanyak keempat dunia, dengan daya beli masih lebih baik dibandingkan dengan negara lain.
“Sekarang market dalam negeri menjadi tumpuan dan kalau market dalam negeri tidak dijaga oleh serbuan impor, berimbas ke utilisasi rendah, pabrik merugi, PHK atau pengurangan karyawan, pinjaman ke Bank tidak bisa dibayar, pembayaran ke supplier tidak terbayarkan,” kata Jemmy.
“Efek dominonya sangat banyak,” tukas Jemmy.
Artikel Selanjutnya
Ada Sinyal ‘Curi Start’ PHK Buruh Tekstil, Ini Kata Pengusaha
(dce/dce)