
Jakarta, CNBC Indonesia – Warga Myanmar makin tak leluasa sejak negaranya diambil alih oleh junta militer. Sejak Januari 2023, rezim militer tersebut dilaporkan telah menangguhkan penerbitan paspor bagi warga negaranya.
Menurut laporan media lokal The Irrawaddy yang diikuti Jumat (3/2/2023), pada Desember 2022, junta militer menangguhkan penerbitan sebagian paspor dan para pekerja migran Myanmar masih dapat memperolehnya di bawah nota kesepahaman antara pemerintah Myanmar dan pemerintah asing terkait.
Namun, pada 17 Januari 2023, junta sepenuhnya menangguhkan penerbitan dan perpanjangan paspor, serta menerima aplikasi paspor baru. Alasan di balik penangguhan dan berapa lama hal ini akan berlangsung belum ditentukan oleh pihak terkait.
Semetara itu, aktivis hak buruh mengatakan bahwa langkah junta tersebut bermotivasi politik. Mereka mengatakan junta berusaha untuk memotong dana yang mengalir dari pekerja Myanmar di luar negeri dan mengalirkannya ke perlawanan bersenjata, yang dikenal sebagai Pasukan Pertahanan Rakyat.
Penangguhan paspor merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), kata para aktivis buruh. Daw Thuzar Maung, seorang aktivis hak buruh, mengatakan mayoritas pekerja migran Myanmar di Malaysia memberikan sumbangan untuk gerakan perlawanan.
“Mereka [junta] tampaknya berpikir bahwa orang tidak dapat bekerja jika mereka tidak mendapatkan paspor, atau bahwa mereka tidak dapat terus bekerja setelah paspor mereka habis masa berlakunya. Dan jika mereka tidak menerima gaji, mereka tidak akan mampu membiayai revolusi. Mereka telah melakukan ini dengan pemikiran itu dalam pikiran,” katanya.
Adapun, banyak pekerja migran Myanmar di Malaysia memilih untuk tidak memperpanjang visa mereka, karena mereka tidak ingin berhubungan dengan kedutaan yang dikontrol junta. Sebaliknya, mereka mengajukan izin kerja dan izin tinggal yang dikeluarkan secara lokal.
“TKI Myanmar banyak yang tidak memegang paspor lagi. Ketika mereka mencari bantuan dari kami, kami membantu mereka menghubungi kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi,” tambahnya.
Para pengamat menyebut dengan menangguhkan layanan paspor, junta juga ingin menghentikan aktivis anti-rezim meninggalkan negara sambil berpura-pura menjadi pekerja migran.
Warga yang meninggalkan Myanmar biasanya pindah ke Thailand, Malaysia, Korea, dan Jepang. Thailand memiliki populasi pekerja migran Myanmar terbesar, dengan 400.000 lainnya pindah ke sana sejak kudeta, menurut data aktivis hak-hak buruh.
Agen tenaga kerja dan aktivis hak buruh memperingatkan bahwa penangguhan layanan paspor akan mengakibatkan peningkatan jumlah orang yang meninggalkan Myanmar secara ilegal.
Sebelumnya, lebih dari 60.000 warga negara Myanmar ditangkap di Thailand pada tahun 2022 karena memasuki negara itu secara ilegal.
Dalam laporan Desember 2022, Organisasi Internasional untuk Migrasi mengatakan bahwa diperkirakan sekitar 40.000 warga negara Myanmar meninggalkan negara itu setiap bulan terkait konflik, alasan ekonomi, dan lainnya, melalui berbagai jalur reguler dan tidak teratur, dengan mayoritas bermigrasi ke Thailand.
Artikel Selanjutnya
Konser Suku Minoritas Diserang di Myanmar, 30 Orang Tewas
(luc/luc)