Jakarta, CNN Indonesia —
Kepala Bagian Pemberitaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri dan Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana berdebat soal mantan Caleg PDIP Harun Masiku yang belum diproses hukum.
Perdebatan itu terjadi dalam agenda diskusi yang membahas penurunan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia Tahun 2022 di salah satu kafe di Jakarta Selatan, Minggu (12/2).
Ali yang berbicara melalui sambungan telepon mulanya menjelaskan penurunan IPK merupakan tanggung jawab banyak pihak, bukan hanya KPK saja.
Dia menjelaskan kerja-kerja pemberantasan korupsi oleh KPK perlu didukung banyak pihak seperti pemerintah, DPR dan elemen masyarakat.
“Saya kira mungkin negara lain sih tidak terlalu ramai seperti kita ya Indonesia, terlebih kemudian fokusnya hanya seolah-olah tanggung jawab KPK. Kita tahu kata kuncinya korupsi, jadi wajar saja kalau semua orang cara pandangnya matanya ke KPK semua,” kata Ali.
Juru bicara berlatar belakang jaksa ini menyinggung banyak pihak yang tidak optimis terhadap kerja-kerja pemberantasan korupsi. Ali menyentil cara pandang banyak pihak dimaksud yang terlalu tendensius menyikapi penurunan IPK.
“Bahkan, yang lucu dikaitkan dengan TWK [Tes Wawasan Kebangsaan], perubahan Undang-undang KPK, pimpinan KPK yang katanya ugal-ugalan, ini kan lucu. Artinya belum paham apa sih IPK itu, jangan kemudian bahwa hal-hal teknis dikaitkan dengan naik-turunnya IPK,” terang Ali.
IPK Indonesia tahun 2022 berada di skor 34 atau turun empat poin dari tahun sebelumnya. Indonesia menempati peringkat 110 dari 180 negara yang dilibatkan.
IPK Indonesia tahun 2022 dinilai mengalami penurunan terburuk sepanjang sejarah reformasi. Terdapat delapan indikator penyusunan IPK.
Ali menegaskan KPK tidak diam menyikapi penurunan IPK tersebut. Dia menjelaskan pada dua hari yang lalu pihaknya telah melaksanakan rapat secara serius.
Hal itu disampaikan sekaligus merespons penilaian negatif sejumlah pihak terhadap KPK saat ini. Ali pun menyinggung kerja-kerja KPK di sektor penindakan, spesifik pencarian buron Harun Masiku.
“Contoh Harun Masiku sama, IA [Izil Azhar, mantan Panglima GAM wilayah Sabang] itu empat atau lima tahun kemarin itu [DPO], terus orang juga sama ngomongnya ‘Ah, katanya enggak berani, enggak bisa.’ Begitu ketangkap juga tidak objektif. Artinya, kita coba untuk membuka diri lah bahwa narasi-narasi yang dibangun itu adalah hal yang biasa,” tutur Ali.
Sementara itu, Kurnia langsung melontarkan kritik terhadap cara pandang Ali yang menganggap ‘aneh’ penurunan IPK di Indonesia. Dia menganggap KPK lucu.
“Sebenarnya bukan masyarakat yang lucu tapi KPK yang lucu, saya juga kaget Mas Ali menyampaikan negara ini sepertinya heboh menanggapi IPK. Saya juga enggak tahu ya kondisi di internal KPK gimana merespons IPK,” ucap Kurnia.
Dia lantas merespons terkait topik Harun Masiku. Kurnia menuturkan alasan ICW fokus terhadap penanganan kasus dugaan suap penetapan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI periode 2019-2024 yang menyeret Harun.
“Beberapa buronan misalnya tadi Mas Ali menyampaikan IA itu sudah empat tahun kemudian diringkus oleh KPK, Izil Azhar. Ada Harun Masiku kenapa dua tahun itu terlalu dihebohkan? Bahkan, Mas Ali pernah menyampaikan kenapa ICW hanya menghebohkan Harun Masiku padahal buronan lain banyak,” tutur Kurnia.
“Kenapa kami fokus di isu itu? Karena banyak kejanggalan saat proses penanganan perkaranya,” sambungnya.
Kejanggalan penanganan kasus dimaksud di antaranya upaya mengembalikan penyidik Rossa Purbo Bekti ke instansi asal kepolisian hingga kegagalan KPK menggeledah kantor PDIP.
Harun harus berhadapan dengan hukum lantaran diduga menyuap mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan agar bisa ditetapkan sebagai pengganti Nazarudin Kiemas yang lolos ke DPR namun meninggal dunia.
Ia diduga menyiapkan uang sekitar Rp850 juta untuk pelicin agar bisa melenggang ke Senayan.
Terhitung sudah lebih dari 850 hari KPK tidak mampu menangkap Harun. Belum ada perkembangan signifikan yang disampaikan KPK terkait penanganan kasus tersebut.
(ryn/DAL)